Fisher & colleagues (1995) mempublikasikan sebuah kasus di unit gawat darurat (UGD) dimana seorang pekerja bangunan menginjak paku sepanjang 15 centimeter di area proyek bangunan hingga menembus sepatu boot nya.
Tertembus paku sepanjang 15 centimeter membuat pria berusia 29 tahun itu sangat kesakitan. Sedikit saja gerakan pada paku tersebut membuat pria itu mengerang menahan sakit.

Untungnya dengan sigap petugas unit gawat darurat memberikan obat bius untuk menghilangkan rasa sakit, lalu mencabut paku tersebut dari bawah dengan pelan dan hati-hati hingga dapat tercabut secara keseluruhan.
Setelah paku berhasil dicabut, petugas melepas sepatu boot dari kaki pria tersebut untuk merawat luka di kakinya. Diluar dugaan, petugas tidak menemukan luka pada kaki pria itu meski paku sepanjang 15 centimeter menembus sepatu bootnya, ternyata paku panjang itu hanya hanya melewati sela sela jarinya.
Tidak ada luka. Tidak ada cedera. Tidak ada kerusakan jaringan. Lalu, bagaimana dengan rasa sakit yang dialami oleh pekerja bangunan itu?
Cuplikan cerita kejadian diatas merupakan salah satu bukti bahwa rasa nyeri tak selalu merupakan representasi dari cedera atau kerusakan jaringan. Studi terkini menemukan ada setiap individu berumur 60 tahun yang tidak mengalami keluhan nyeri pinggang ditemukan 36% mengalami herniasi diskus; 21% mengalami spinal stenosis; dan 90% lebih mengalami degenerasi diskus saat dilakukan tes diagnostik pencitraan.
Saat ini kita masih beranggapan nyeri pinggang dan nyeri leher adalah kasus muskuloskeletal belaka dan hanya mencoba menyelesaikan masalah dengan kacamata biomekanika, Belum banyak fisioterapis Indonesia yang mencoba mengembangkan pendekatan neurosains atau neurobihavior.
Baca artikel :
📑 https://www.ampphysio.com/blog/2018/3/8/biomechanics-vs-pain-science-bridging-the-clinical-divide