Belajar me- Manusia(wi)-kan Pasien

Nyeri merupakan salah satu alasan kenapa seseorang mengunjungi fisioterapis. Dalam sesi pemeriksaan, seorang fisioterapis pasti menanyakan alasan kenapa mengunjungi fisioterapi. Beberapa pasien mengunjungi klinik fisioterapi atas inisiatif sendiri – tanpa rujukan dokter, ada pula yang dirujuk oleh dokter.

Menarik untuk dicermati adalah jawaban pasien saat ditanya kenapa mengunjungi klinik fisioterapi. Perhatikan jawaban pasien berikut ini ;
Tanya :
“Kenapa Bapak mengunjungi fisioterapi? ada keluhan apa?”
 

Jawab :

  1. ” Saya barusan di MRI, katanya ada penjepitan saraf pada tulang belakang pinggang, saya takut operasi…”
  2. ” Dari hasil foto rontgen, gambaran tulang saya seperti orang berusia 70 tahun, padahal saya masih 40 tahun..”
  3. ‎” Tulang belakang saya tidak stabil, saya saat ini sangat berhati-hati menggerakkan badan…”
  4. ” Tulang rawan sendi lutut saya terkikis… “
Hmm.. 🤔
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh fisioterapis ditambahkan informasi lebih detail lagi terkait bagaimana tulang, sendi, otot ligamen dan diskus yang rusak dan tidak bekerja sebagaimana mestinya dengan harapan pasien memahami benar-benar struktur dan gangguan mekanik pada tubuhnya.
Lalu mulailah serangkaian treatment sperti penguatan otot core, penguluran otot, mobilisasi sendi atau penggunaan modalitas seperti ultrasound atau stimulasi elektris.

Bengkel Manusia

Ilmu kian berkembang, namun ayunan pendulum kita belum seimbang dalam menghadapi kondisi klinis. Kadang kita sudah mengayun terlalu jauh membahas gerak, organ, jaringan, sel hingga biomolekul. Fisioterapis menjadi mirip-mirip ahli mekanik dalam memandang problematik pasien ; alur baut, putaran roda, torsi, ayunan bandul dan gerigi-gerigi roda.

Dalam taraf tertentu kita lupa bahwa pasien-pasien kita adalah manusia (human). Ya ! manusia dengan segala sifat manusiawinya. Pasien kita sesungguhnya adalah manusia dengan dimensi biologis, psikologis, sosiologisnya.

Pendekatan biomedik yang kita gunakan saat ini kadang cenderung melupakan sisi psikologi dan sosiologi pasien sebagai manusia. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mahzab biomedik dan biopsikososial di dunia medis dan fisioterapi, akan kita diskusikan di lain kesempatan 😉.
Sampai disini, kita bisa menemukan relevansi antara semangat pemanusiaan pasien sebagai manusia biopsikososial dengan konsep nyeri secara neurosains, dimana nyeri tidak sekedar keluaran dari proses penyaluran informasi dari jaringan tubuh yang mengalami kerusakan menuju otak. Intensitas nyeri dapat dipengaruhi oleh persepsi dan emosi seseorang[ REF ]
Pada nyeri kronis, pembahasan nyeri akan lebih rumit lagi, karena seorang pasien dengan keluhan sakit pinggang menahun belum tentu ada kerusakan jaringan di area pinggang. Ditambah fakta bahwa hasil pencitraan seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) bukan serta merta menunjukkan kausa nyeri. [ REF ]

Keranjang Sampah dan Pelipur Lara

Biasanya pasien dirujuk ke fisioterapi karena keluhan nyeri dan gangguan gerak. Tak jarang fisioterapi menjadi semacam keranjang sampah, pasien datang dengan keluhan nyeri menahun,  sudah menjalani serangkaian tes pencitraan mulai rontgen hingga MRI dan mengkonsumsi obat analgesik dosis tinggi hingga morfin.

Otak pasien telah banyak merekam banyak cerita tentang diskus yang robek, saraf yang terjepit dan lapisan tulang rawan yang terkikis dan beberapa anjuran untuk menghindari aktifitas membungkuk atau jongkok untuk mencegah kerusakan lebih lanjut 😫😨. Hingga pasien bener-bener menghabiskan hidupnya dengan bergerak pelan penuh kehati-hatian.
Lalu akan kita tambah dengan informasi apa lagi? tentang hipomobilitas? core yang jelek? atau mengatakan ‘postur Anda buruk’ yang justru akan menambah nocebo effect ?
Sudah saatnya klinisi memperhatikan kosakata dan ilustrasi saat memberikan informasi dan edukasi terhadap pasien mereka, sebab cerita pengapuran tulang dan pertumbuhan taji pada sendi cukup membuat pasien enggan beranjak dari tempat tidur.
Cerita tentang kerusakan diskus dan penjepitan saraf tulang belakang cukup menakutkan hingga membuat pasien takut untuk bergerak dan memperpanjang penderitaan.
Ilustrasi gambaran MRI dapat membuat pasien dihantui rasa cemas dan meningkatkan intensitas nyeri dan menimbulkan kinesiofobia ( ketakutan bergerak ) .
Jika komunikasi adalah bagian dari modalitas untuk memelihara, mengembangkan dan mengembalikan gerak dan fungsi sebagaimana definisi fisioterapi menurut Ikatan Fisioterapi Indonesia dan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka sudah saatnya fisioterapis belajar memilih kosakata yang menggerakkan manusia (pasien) bukan justru membuat takut bergerak. Baca : Jadilah Fisioterapis yang Baik dan Edukator Yang Cakap

Saatnya Mengawinkan Biomekanika dan Neurosains

Mengikuti trend di dunia fisioterapi dan neurosains , kedepan, mungkin fisioterapis Indonesia perlu mengadakan kajian – kajian tentang nyeri yang lebih banyak melibatkan aspek neurosains. Metode seperti Pain Neuroscience Education (PNE), Graded Motor Imagery (GMI),  Cognitive Beahavior Therapy (CBT) . Saat ini kita masih beranggapan nyeri pinggang dan nyeri leher adalah kasus muskuloskeletal belaka dan hanya mencoba menyelesaikan masalah dengan kacamata biomekanika, Belum banyak fisioterapis Indonesia yang mencoba mengembangkan pendekatan neurosains. Dalam tracking saya di internet ada satu fisioterapis Indonesia yang gencar mengkampanyekan pendekatan neurosains untuk nyeri yaitu : Firmansyah Purwanto 😎 melalui jejaring sosial facebook –  nyaTantangan baru bagi pegiat fisioterapi neurologi Indonesia ✊✊✊

Salam fisioterapi Indonesia

Rekomendasi Bacaan : 

  • https://www.painscience.com/articles/pain-is-weird.php
  • https://www.ampphysio.com/blog/2018/3/8/biomechanics-vs-pain-science-bridging-the-clinical-divide
  • http://www.paininmotion.be/blog/detail/nocebo-effects-communication